MPnews.Medan - Pembelian Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 477 nama Sihar Sitorus di Kabupaten Deli Serdang kini menjadi sorotan publik. Pasalnya, dokumen penting tersebut diduga diterbitkan menggunakan identitas yang tidak konsisten, mengacu pada dua Nomor Induk Kependudukan (NIK) berbeda atas nama Sihar P.H. Sitorus.
Berdasarkan hasil klarifikasi resmi dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan pada surat Nomor 470/VIII/826/2021, terungkap bahwa NIK 3173*********004 atas nama Sihar P.H. Sitorus tercatat sah dan telah pindah domisili dari Medan. Namun di sisi lain, ditemukan pula NIK lain yang juga aktif digunakan dalam dokumen pertanahan dan administrasi publik.
Perbedaan ini bukan sekadar persoalan administratif melainkan berpotensi mempengaruhi legalitas kepemilikan tanah dan aset, termasuk SHM Nomor 477 yang kini tengah disengketakan.
Kasus ini mengungkap potret buram penegakan hukum administrasi kependudukan di Sumatra Utara . Meskipun data kependudukan telah terintegrasi dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), fakta di lapangan menunjukkan lemahnya pengawasan dan verifikasi silang antarinstansi.
“Jika satu orang bisa memiliki dua NIK aktif dan keduanya digunakan untuk urusan hukum dan keuangan, ini bukan hanya kesalahan teknis, tapi bentuk kegagalan sistem,” ujar seorang pemerhati hukum administrasi dari Sumatera Utara yang enggan disebut namanya.
Kondisi ini semakin kompleks ketika lembaga-lembaga negara seperti Kementerian ATR/BPN, Disdukcapil, hingga penegak hukum saling menunggu dan tidak menunjukkan koordinasi berarti.
Data yang diperoleh dari sejumlah dokumen resmi menunjukkan bahwa pembelian SHM 477 atas nama Sihar Sitorus dilakukan dengan melampirkan identitas yang berbeda dari catatan kependudukan yang sah. Dugaan penggunaan identitas ganda inilah yang kemudian memicu konflik kepemilikan tanah di Deli Serdang, dengan Pelapor Legiman Pranata menuding adanya dugaan rekayasa administratif.
Dari beberapa bukti surat yang telah di tunjukkan oleh Legiman Pranata bahwa SHM 477 pembeliannya dengan NIK yang sesuai dengan data Dukcapil,tercatat dan Tidak Aktif maka implikasinya serius. SHM nomor 477 tersebut dapat dikategorikan cacat administrasi dan berpotensi kejahatan lewat mekanisme hukum, baik di tingkat Badan Pertanahan Nasional (BPN) maupun pengadilan tata usaha negara (PTUN) nomor 98/G/XII/2017 ini dugaan Kolusi.
Yang lebih memprihatinkan, hingga kini belum ada langkah konkret dari lembaga terkait untuk menelusuri keabsahan identitas yang digunakan dalam pembelian sertifikat tersebut.
“Negara seolah memilih diam,” kata salah seorang aktivis hukum. “Padahal kasus ini bisa menjadi momentum untuk memperbaiki integritas data kependudukan dan sistem pertanahan nasional.”
Diamnya aparat bisa dimaknai sebagai bentuk pembiaran sistemik, yang pada akhirnya membuka ruang bagi praktik manipulasi data dan penyalahgunaan dokumen hukum untuk kepentingan pribadi.
Kasus KTP ganda dan SHM 477 Sihar Sitorus ini menjadi cermin bahwa negara masih absen dalam tugas konstitusionalnya: melindungi hak identitas dan kepemilikan warga negara secara sah dan adil.
Kini publik menunggu langkah nyata dari Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, serta penegak hukum untuk membuka tabir:
"Identitas ini yang sebenarnya digunakan dalam pembelian SHM Nomor 477, dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kekacauan ini?" (TIM/Red)
MP