MPnews.Medan — Sebuah kasus yang mencuat di Sumatera Utara menyingkap sisi gelap sistem administrasi kependudukan di Indonesia. Dugaan kepemilikan dua identitas berbeda oleh seorang warga bernama Sihar Sitorus membuka pertanyaan serius: sejauh mana negara hadir memastikan keabsahan dan kesatuan data kependudukan warganya?
Kasus ini bermula dari laporan Legiman Pranata, warga Medan, yang menemukan adanya dua Nomor Induk Kependudukan (NIK) atas nama orang yang sama. Berdasarkan dokumen resmi yang diterimanya dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Medan, Sihar ph sitorus tercatat dengan NIK 3173********0004 dan telah melakukan proses pindah domisili. Namun, di sisi lain, beredar data lain dengan identitas serupa namun berbeda yaitu Sihar sitorus nomor NIK 127.....002 dan alamat.lahir berbeda
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, setiap warga negara hanya boleh memiliki satu NIK tunggal yang melekat seumur hidup. Namun, dalam praktiknya, pengawasan dan validasi data di lapangan masih longgar, membuka ruang penyalahgunaan identitas, bahkan potensi tindak pidana Telah digunakan untuk beli sebidang tanah Luas 11.888 M shm no 477.sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat atau identitas.
“Ini bukan sekadar soal data, tapi soal jaminan hukum dan keadilan. Jika negara tidak bisa memastikan satu identitas untuk satu warga, maka kredibilitas sistem kependudukan kita patut dipertanyakan,” tegas Legiman dalam surat laporannya ke Irwasum polri tertanggal 6 Oktober 2025 yang ditujukan kepada bapak Irwasum Polri dan ditembuskan ke Presiden Republik Indonesia serta Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Laporan resmi tersebut disertai bukti proses penyidik polda sumut sampai sekarang belum juga memanggil terlapor yang dugaan telah menggunakan NIK Ganda sejak tanggal 30 April 2012 dalam akte notaris nomor 25 itersebut pengiriman melalui jasa ekspedisi nasional, namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut nyata dari lembaga-penegakan hukum yang berwenang.
Baik Disdukcapil, Kepolisian, maupun Kementerian Dalam Negeri tampak saling melempar tanggung jawab. Tidak ada klarifikasi terbuka, tidak ada pemeriksaan mendalam, dan tidak ada hasil penyelidikan yang memanggil Terlapor
Padahal, menurut Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Dalam konteks ini, pembiaran atas dugaan kepemilikan identitas ganda bukan hanya kelalaian administratif, tetapi juga bentuk pengingkaran konstitusional.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik dan aktivis hukum. Mereka menilai diamnya negara terhadap laporan warga menunjukkan lemahnya sistem pengawasan internal serta tidak berfungsinya mekanisme kontrol antar lembaga.
“Kalau laporan resmi dengan bukti lengkap negara telah membiayai mengirim lima orang ke polda sumut namun penyidik belum manggil Terlapor tidak ditanggapi, bagaimana nasib warga lain yang menghadapi kasus serupa tapi tidak punya akses atau keberanian untuk melapor?” kata salah satu pengamat hukum dari Universitas di Sumatera Utara.
Para penggiat hak sipil mendesak agar Ombudsman RI sumut sesuai laporan legiman tgl 30/9/2025 agar turun tangan melakukan investigasi atas dugaan maladministrasi dan pembiaran oleh lembaga penegak hukum. Harapan legiman juga mendorong Komnas HAM meninjau aspek pelanggaran hak warga terhadap kepastian dan hukum.agar Terlapor diperiksa
Selain itu, kalangan jurnalis mendorong agar publik ikut mengawasi proses ini melalui advokasi media.
“Jurnalisme harus menjadi ruang perlawanan terhadap ketidakadilan administratif. Negara tidak boleh absen ketika identitas warga dipertaruhkan,” ujar salah satu anggota organisasi pers di Medan
Kasus NIK ganda ini menjadi cermin bagaimana sistem kependudukan Indonesia masih rentan disusupi praktik penyimpangan. Di era digital yang menjanjikan integrasi data dan kepastian hukum, masih ada warga yang harus berjuang sendirian hanya untuk menegakkan prinsip dasar: satu warga, satu identitas.
Negara tidak boleh diam, Juga publik tidak akan berhenti bertanya: "Jika data kependudukan saja tidak bisa dijaga, bagaimana kepercayaan rakyat terhadap hukum bisa dipertahankan?"
Sejumlah aktivis hukum dan jurnalis investigatif kini mulai mengawal kasus ini. Mereka menilai, tidak boleh didiamkan negara harus hadir terhadap laporan warga menunjukkan bukti pengawasan internal serta berfungsinya mekanisme koordinasi antar lembaga.
terhadap rakyat kecil yang tidak punya biaya. negara hadir dalam menjaga integritas identitas warganya,” kata Syarif Al Dhin, aktivis muda Sulawesi Selatan yang juga pemerhati HAM dan tata kelola publik.
Para penggiat hak sipil mendesak Ombudsman RI sumut untuk segera membuka penyelidikan dugaan maladministrasi, dan mendorong Komnas HAM meninjau aspek pelanggaran hak warga terhadap kepastian hukum dan perlakuan yang adil.
Kasus NIK ganda ini menjadi cermin bahwa penyidik polda sumut harus memeriksa Terlapor dugaan menggaungkan identitas( NIK) ganda.
Negara tidak boleh diam, publik tidak akan berhenti menagih kehadirannya.
Sebab ketika identitas warga bisa digandakan, maka sesungguhnya kepercayaan rakyat terhadap hukum dan negara sedang digandakan pula dalam ketidakpastian. (TIM/Red)
Editor: Redaksi Investigasi
Sumber: Dokumen resmi surat Legiman Pranata, UU Administrasi Kependudukan, dan wawancara dengan para pakar hukum.
MP